AMBON, Sirimaupos.com – Komisi III DPRD Kota Ambon menegaskan sikap profesional dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap izin usaha pertambangan galian C di wilayah Kota Ambon. Pernyataan ini disampaikan Ketua Komisi III, Ari Farfar, usai melakukan kunjungan kerja dan dialog bersama Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Maluku, terkait kewenangan perizinan tambang yang kini menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi.
Menurut Farfar, isu tambang galian C di Ambon perlu ditangani secara hati-hati karena menyangkut aspek kewenangan, lingkungan, dan tata ruang kota. Ia menjelaskan bahwa perubahan regulasi membuat kewenangan perizinan pertambangan tidak lagi berada di tingkat kota, melainkan berada pada pemerintah provinsi.
“Dulu kewenangan perizinan tambang ada di pemerintah kabupaten dan kota, tetapi kini sudah ditarik ke pemerintah pusat dan kemudian didelegasikan kembali ke pemerintah provinsi,” kata Ketua Komisi III DPRD Kota Ambon, Ari Farfar.
Ia menegaskan bahwa Komisi III bekerja secara profesional dan mengedepankan koordinasi lintas instansi agar seluruh proses perizinan berjalan sesuai ketentuan hukum dan tidak menimbulkan persoalan administratif di tingkat daerah.
“Komisi III tidak bisa bertindak di luar kewenangan. Karena itu, kami berkoordinasi dengan Dinas ESDM Provinsi Maluku untuk memastikan semua proses izin tambang galian C di Ambon sesuai prosedur,” ujar Farfar.
Dalam kunjungan kerja tersebut, Komisi III bersama perwakilan Dinas ESDM Maluku melakukan peninjauan lapangan di beberapa lokasi tambang galian C yang beroperasi di sekitar wilayah administratif Kota Ambon. Dari hasil kunjungan itu, ditemukan delapan titik tambang yang saat ini masih dalam tahap eksplorasi dan sebagian sudah masuk proses operasi produksi.
“Hasil peninjauan menunjukkan ada delapan perusahaan tambang batuan yang beroperasi di wilayah Kota Ambon. Namun sebagian besar masih berada dalam tahap eksplorasi, belum produksi penuh,” jelas Farfar.
Lebih lanjut, ia menguraikan bahwa proses perizinan tambang terdiri atas dua tahap besar, yaitu izin eksplorasi dan izin operasi produksi. Menurutnya, hanya izin operasi produksi yang memberikan kewenangan kepada perusahaan untuk melakukan kegiatan penambangan secara komersial.
“Perlu dipahami bahwa izin eksplorasi bukan izin produksi. Jadi kalau masih eksplorasi, perusahaan belum bisa melakukan kegiatan pengambilan material secara besar-besaran,” tegasnya.
Farfar juga menyoroti pentingnya penyesuaian kebijakan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota dalam konteks tata ruang dan lingkungan hidup. Ia menilai, perlu adanya revisi terhadap wilayah pertambangan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat agar tidak tumpang tindih dengan area pemukiman maupun kawasan hutan lindung.
“Dengan kondisi geografis Kota Ambon yang terbatas, pemerintah provinsi sebaiknya mengusulkan revisi wilayah pertambangan kepada Kementerian ESDM agar tidak mengganggu keseimbangan tata ruang dan lingkungan kota,” kata Farfar.
Menurutnya, salah satu persoalan yang muncul adalah adanya aktivitas tambang yang berdekatan dengan wilayah permukiman dan kawasan konservasi. Hal ini, katanya, berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan jika tidak dikendalikan sejak awal.
“Kami tidak ingin aktivitas tambang justru merugikan masyarakat atau menciptakan masalah lingkungan baru. Karena itu, pengawasan harus ketat dan berbasis aturan,” ujarnya.
Komisi III juga mendorong agar setiap perusahaan tambang yang beroperasi di Ambon mematuhi seluruh ketentuan administrasi, termasuk aspek UPL dan UKL dan perizinan teknis lainnya.
Ia berharap, koordinasi antara DPRD Kota Ambob, pemerintah provinsi, dan pihak perusahaan bisa terus diperkuat agar investasi di sektor pertambangan tetap berjalan, namun tetap selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
“Kita butuh investasi, tapi harus tetap berimbang dengan perlindungan lingkungan. Itu prinsip yang kami pegang, karena, jika dihentikan bisa berdampak pada penyediaan material bagi pembangunan di kota Ambon,”tegas Farfar.(*)









