Nusa Laut, Sirimaupos.com – Desakan untuk mempercepat pembahasan pemekaran Kota Kepulauan Lease kembali mengemuka. Kali ini, suara keras datang dari para Latupati dan tokoh masyarakat adat Kecamatan Nusa Laut, yang meminta Bupati Maluku Tengah dan DPRD agar segera menindaklanjuti agenda penting tersebut demi keberlangsungan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di tiga pulau: Haruku, Saparua, dan Nusa Laut.

Fenomena sosial yang kini menjadi sorotan utama adalah meningkatnya angka migrasi penduduk dari desa-desa di Lease menuju daerah lain di Indonesia. Setiap tahun, ratusan warga meninggalkan kampung halaman untuk mencari pekerjaan dan pendidikan yang lebih layak, meninggalkan rumah-rumah yang kini terbengkalai.
“Kami menyaksikan sendiri banyak rumah kosong di berbagai negeri. Puluhan hingga ratusan rumah dibiarkan rusak karena pemiliknya pergi mencari kerja atau menyekolahkan anak di luar daerah,” kata salah satu Latupati Nusa Laut, Rabu (15/10/2025) di Nalahia Nusa Laut.

Kondisi ini, menurut para tokoh adat, merupakan sinyal kuat bahwa wilayah Lease membutuhkan percepatan pembangunan infrastruktur, pembukaan lapangan kerja, dan perhatian serius dari pemerintah daerah. Namun tanpa otonomi daerah yang lebih luas melalui pemekaran, langkah tersebut sulit terealisasi.
“Fenomena ini terjadi di seluruh negeri di kawasan Lease. Karena itu, pemekaran Kota Kepulauan Lease bukan lagi keinginan, tapi sudah menjadi kebutuhan mendesak,” kata Sekretaris Konsorsium Lease, M. Saleh Wattiheluw.
Mantan anggota DPRD Provinsi Maluku itu menegaskan bahwa hasil survei Konsorsium Lease menemukan fakta mencengangkan: rata-rata terdapat 100 hingga 150 rumah tak berpenghuni di setiap negeri di wilayah Lease. Ia menilai, jika hal ini terus dibiarkan, maka eksodus penduduk akan semakin masif, menyebabkan degradasi sosial dan hilangnya identitas budaya lokal.
“Kalau orang terus meninggalkan kampung halaman karena tidak ada lapangan kerja, maka pelan-pelan Lease akan kehilangan generasi penerusnya. Padahal sumber daya alam kita sangat kaya dan mampu menopang hidup masyarakat,” kata Wattiheluw.
Menurut data Konsorsium Lease, kawasan ini memiliki potensi besar di sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata. Sayangnya, keterbatasan infrastruktur dan lemahnya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah membuat potensi tersebut tidak termanfaatkan secara optimal.
Sementara itu, Ketua Konsorsium Lease, Prof. Nus Sapteno, menilai pemekaran wilayah merupakan solusi strategis untuk memperkuat tata kelola pemerintahan dan mempercepat pembangunan ekonomi di wilayah kepulauan. Ia menegaskan, jika dimekarkan, Kota Kepulauan Lease dapat menjadi model pembangunan berbasis potensi lokal.
“Sektor perikanan tangkap, budidaya laut, pertanian terpadu, dan pariwisata bahari sangat potensial. Semua sektor ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi daerah bila ada kemandirian dalam pengelolaan pemerintahan,” kata Prof. Sapteno.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa posisi geografis Kepulauan Lease sangat strategis sebagai pusat konektivitas antar-pulau di Maluku bagian tengah, yang dapat memperkuat rantai logistik dan perdagangan antarwilayah. Dengan status sebagai kota kepulauan, Lease akan memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sektor transportasi laut dan pengembangan pelabuhan.
“Jika status pemerintahan meningkat, maka akses ke dana pembangunan nasional juga terbuka lebih luas. Itu akan mempercepat pertumbuhan ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan menahan arus urbanisasi,” tambahnya.
Desakan masyarakat adat ini sejalan dengan semangat otonomi daerah yang digalakkan pemerintah pusat. Prinsipnya adalah mendekatkan pelayanan publik ke masyarakat dan mempercepat pemerataan pembangunan di daerah-daerah kepulauan yang selama ini terpinggirkan.
Namun hingga kini, Pemkab Maluku Tengah dan DPRD belum mengambil langkah konkret terkait pembahasan pemekaran tersebut. Padahal, dokumen kajian dan aspirasi masyarakat telah beberapa kali diserahkan kepada pemerintah daerah.
“Kami hanya berharap pemerintah jangan menutup mata. Lease ini punya sejarah panjang dan peran penting dalam kebudayaan Maluku. Jangan biarkan daerah ini terus tertinggal,” kata Ketua Saniri Negeri Nalahia Zeth Lewerissa.
Dari pantauan di lapangan, sebagian besar masyarakat Lease kini menggantungkan hidup pada sektor informal dan bantuan keluarga di luar daerah. Anak muda banyak merantau ke Ambon, Papua, dan Sulawesi untuk bekerja sebagai buruh, nelayan, atau karyawan toko.
“Kami tidak ingin jadi penonton di tanah sendiri. Pemekaran ini harus dilihat sebagai upaya menyelamatkan masa depan anak cucu kita, bukan semata urusan politik,” ujar tokoh masyarakat Nusa Laut, Pit Sapulette.
Desakan dari berbagai lapisan masyarakat ini kini menjadi ujian bagi keberpihakan Pemkab Maluku Tengah dan DPRD dalam memperjuangkan kesejahteraan rakyat di wilayah kepulauan.
Jika aspirasi ini diabaikan, maka ancaman kehilangan identitas budaya dan penurunan populasi di pulau-pulau kecil Lease akan menjadi kenyataan pahit bagi Maluku di masa depan.(*)










