SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos

Krisis Iman di Rumah Tuhan: Dugaan Penggelapan Dana Terus Mengguncang Sinode GPM

Sahetapy: “Tuhan tidak berdiam di rumah yang dibangun dengan uang kotor, melainkan di hati umat yang jujur dan takut akan kebenaran.

Ambon, Sirimaupos.com — Menjelang Sidang Sinode GPM ke-39 yang akan berlangsung di Ambon, Pimpinan Sinode GPM kembali diingatkan oleh warga gereja senior untuk bertobat dari dosa korupsi sebelum memasuki tahap pemilihan sehingga tidak memberikan dampak buruk bagi umat GPM dan kesucian Gereja.

Warga Gereja senior ini menggelar konfrensi pers di hotel Amboina pada Selasa (7/10/2025) untuk meminta pimpinan Sinode GPM untuk transparan terhadap raibnya dana umat senilai Rp 6.8 milyar di tangan Sinode GPM.

Gereja Protestan Maluku  yang seharusnya menjadi menara iman kini terguncang oleh badai moral dugaan penggelapan dana jemaat senilai Rp 6,8 miliar di tubuh Sinode GPM. Kasus yang bermula dari Klasis Pulau Ambon Timur ini menjadi sorotan tajam umat, yang menilai adanya kerancuan dan ketertutupan dalam pengelolaan keuangan gereja oleh Ketua dan Sekretaris Umum Sinode GPM.

Skandal ini bukan hanya perkara uang, melainkan soal iman, integritas, dan kredibilitas kepemimpinan rohani.

Pendeta Christian Sahetapy, mengemukakan bahwa ada tim verifikasi internal dan tim investigasi external dari pihak kepolisian yang harusnya dibekali dengan dokumen penting dari pimpinan Sinode GPM. Ia, menilai MPH Sinode GPM lalai dan bahkan tidak kooperatif dalam menangani laporan yang seharusnya sudah dilimpahkan ke ranah hukum sejak lama.

“Sejak Sidang Sinode ke-38 tahun 2020, kasus ini belum tuntas. Baru pada 2022 dilimpahkan ke polisi. Namun sampai kini belum ada tersangka karena MPHS GPM tidak kooperatif. Polisi bahkan mengeluarkan 14 item permintaan data yang tak kunjung dipenuhi,” ujar Sahetapy tegas.

Menurutnya, sikap pasif Sinode justru menimbulkan dugaan bahwa ada upaya menghalangi penyelidikan. Ia menegaskan, Ketua Sinode sebagai otorisator dan  Sekretaris Umum sebagai pelaksana administrasi sinoda harusnya mampu bertanggung jawab baik di dalam maupun keluar harus bertanggung jawab penuh atas kerugian jemaat.

“Kalau Ketua sekarang dulunya Sekretaris Umum, berarti dia tahu semua data. Tidak mungkin tidak tahu. Kalau mereka cuci tangan, berarti mereka sengaja melarutkan kasus ini,” tambah Sahetapy.

Ketertutupan Sinode Memantik Amarah Jemaat

Nada serupa datang dari Yusuf Leatemia, tokoh senior jemaat GPM. Ia menilai, kasus ini telah melukai hati umat dan menodai kesucian gereja. Leatemia mendesak agar kepolisian bertindak transparan dan menegakkan keadilan tanpa pandang jabatan rohani.

“Kami mau kepolisian buka seterang-terangnya kepada umat. Ini uang persembahan, uang nazar umat, bukan milik pribadi. Kalau pemimpin terlibat, mereka harus mundur. Jangan calonkan diri lagi dalam Sinode mendatang,” tegasnya.

Leatemia menilai, jika Sinode terus menutupi kasus ini, kepercayaan jemaat terhadap gereja akan runtuh.

“GPM ini sakral. Kalau pemimpin tidak bersih, maka umat akan pergi ke gereja lain. Umat sudah muak dengan pemimpin yang main uang Tuhan,” tandasnya getir.

Suara Jemaat: Gereja Kehilangan Makna Kesakralan

 

Pendeta Onas Nanlohy, yang kini lebih memilih bersuara sebagai anggota jemaat, menyebut kasus ini sebagai pengkhianatan terhadap kesucian persembahan umat.

“Bayangkan, uang yang dipersembahkan dengan air mata, uang ucapan syukur dan pergumulan, justru disalahgunakan. Ini bukan sekadar dugaan. Data verifikasi menunjukkan penyimpangan Rp 6,8 miliar, bahkan bisa lebih,” kata Nanlohy.

Ia menegaskan, proses hukum yang berlarut-larut menambah penderitaan umat yang merindukan kepastian dan keadilan.

“Kalau gereja tidak bersih, jangan heran kalau umat berhenti memberi. Karena mereka sudah hilang kepercayaan,” ujarnya.

Bagi Sahetapy, diamnya umat bukan karena tidak peduli, tetapi karena rasa takut terhadap otoritas pendeta.

“Umat takut bicara, seolah iman mereka kepada pendeta, bukan kepada Tuhan. Padahal Yesus sendiri pernah menegur pemimpin agama yang menyelewengkan keadilan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa kritik terhadap pemimpin gereja adalah bagian dari kasih yang menegur, bukan pemberontakan.

“Yesus menegur ahli Taurat di muka umum. Itu teladan agar gereja tidak kebal dari koreksi. Gereja harus terbuka, akuntabel, dan transparan,” tegas Sahetapy.

Gelombang suara umat kini menguat untuk mrndesak pemimpin yang terlibat dalam dugaan penggelapan dana Rp 6,8 miliar tidak boleh mencalonkan diri dalam struktur Sinode berikutnya. Mereka menilai, pemimpin gereja harus melewati uji moral dan hukum terlebih dahulu sebelum berbicara tentang pelayanan.

“Sebelum hukum memutuskan siapa benar dan salah, jangan dulu ada pencalonan dari nama-nama yang diduga terlibat. Gereja harus bersih dulu dari noda uang,” desak Leatemia.

Polisi Didorong Ungkap Dalang di Balik Raibnya Dana Jemaat

Kini bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Jemaat menuntut agar kepolisian segera menuntaskan penyelidikan dan mengungkap siapa dalang di balik raibnya miliaran rupiah dana umat.

“Hanya hukum yang bisa menegakkan kebenaran. Polisi jangan takut menghadapi jubah rohani. Di hadapan hukum, semua sama,” ujar Nanlohy menutup.

Skandal dana Rp 6,8 miliar ini menjadi ujian besar bagi GPM. Di tengah krisis moral dan kepercayaan, umat kini menuntut pertobatan struktural dan bukan hanya dalam doa, tetapi dalam tindakan nyata. Gereja, rumah suci tempat umat menaruh harapan, tak boleh berubah menjadi panggung dagang keimanan.

Sebab seperti kata Sahetapy, “Tuhan tidak berdiam di rumah yang dibangun dengan uang kotor, melainkan di hati umat yang jujur dan takut akan kebenaran.” (*)


Dapatkan berita terbaru dari SIRIMAUPOS.COM langsung di ponsel Anda! Klik untuk bergabung di Channel WhatsApp kami sekarang juga.