banner 1080x1921
banner 1080x1921
SirimauPos
SirimauPos
OPINI  

Status Kebangsaan Anak Negeri Maluku

(Sedikit Cuplikan Dari Buku ‘Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku’)
oleh: SEMUEL WAILERUNY

Pertanyaan-pertanyaan kritis sebagai pembuka untuk memasuki ruang bahasan ini: apakah Indonesia dalam hal ini NKRI adalah suatu negara bangsa ataukah negara bangsa-bangsa? Pertanyaan berikutnya menyangkut Anak Negeri Maluku, apakah benar Anak Negeri Maluku (Orang Maluku) adalah bangsa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap penting untuk menguji tentang seberapa besar semangat-semangat kebersamaan, persekutuan, kekeluargaan, kasih sayang dan sebagainya yang dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa. Semangat ini akan lebih tinggi dimiliki oleh masyarakat suatu bangsa bila dibandingkan dengan semangat-semangat yang sama pada masyarakat suatu negara.
Saat ini, banyak kalangan menganggap ”bangsa” dan ”negara” memiliki pengertian yang sama, sehingga penyebutan nama negara untuk menjadi nama suatu bangsa atau beberapa bangsa yang mendiami wilayah negara itu seakan-akan sebagai sesuatu yang sah-sah saja, padahal tidaklah demikian nama bangsa diidentikkan dengan nama negara. Status kebangsaan seseorang tidak akan sama dengan status kewarganegaraan orang itu. Bila sebutan negara menjadi sebutan dari identitas bangsa yang mendiami negara itu, semestinya didahului dengan studi untuk diketahui apakah di dalam negara itu hanya terdapat satu bangsa yang mendiaminya saja sehingga patut disebut sebagai negara bangsa dan dengan begitu maka sebutan nama negara sebagai nama bangsa adalah tepat. Sebaliknya bila melalui studi yang dilakukan ditemukan bahwa di dalam negara itu ada beberapa bangsa yang mendiaminya maka adalah keliru bila nama negara lalu menjadi nama bangsa-bangsa yang mendiami negara tersebut. Sebetulnya, terhadap suatu negara yang di dalamnya terdapat beberapa bangsa yang mendiami negara itu maka negara tersebut bukan negara bangsa tetapi disebut sebagai negara bangsa-bangsa sehingga nama negara tidak dapat dijadikan sebagai nama bangsa-bangsa yang mendiami negara tersebut. Hal ini karena masyarakat dengan status kebangsaannya, dengan nilai-nilai budayanya, dengan adat istiadatnya, dengan perasaan senasib dan sepenanggungan, dan dengan cita-cita yang dimiliki, telah lama ada, jauh sebelum adanya negara yang menjadikan masyarakat bangsa itu atau bangsa-bangsa itu sebagai warganya.
Will Kymlicka dalam tulisannya berjudul “Kewargaan Multikultural” memiliki pandangan yang sama dengan apa yang dijelaskan pada bagian akhir paragraf di atas. Ia menyoroti tentang kesalahan memahami perbedaan antara negara dan bangsa seakan-akan satu negara sama dengan satu bangsa. Padahal menurutnya, konsep tentang negara memiliki pengertian yang berbeda dengan konsep bangsa. Dapat terjadi, di dalam satu negara hanya terdapat satu bangsa, namun pada suatu negara yang lain terdapat beberapa bangsa di dalam negara itu. Malahan secara tegas ia nyatakan bahwa satu negara yang penduduknya lebih dari satu bangsa, bukanlah sebagai suatu negara bangsa, tetapi negara itu mesti disebut sebagai negara multi bangsa (negara bangsa-bangsa). Kymlicka (2003:14-15) menjelaskan antara lain sebagai berikut:
’Suatu sumber keragaman budaya adalah kehadiran bersama lebih dari satu bangsa di dalam suatu negara tertentu di mana “bangsa” berarti komunitas historis kurang lebih lengkap secara institusional, menduduki suatu wilayah atau tanah tertentu, mempunyai bahasa dan kebudayaan tersendiri. Suatu bangsa dalam arti sosiologis ini berkaitan erat dengan suatu “masyarakat” atau suatu “kebudayaan” – memang konsep ini sering dipertukarkan. Oleh karena itu suatu negara yang penduduknya lebih dari suatu bangsa bukanlah negara bangsa, melainkan negara multibangsa, dan kebudayaan terkecil membentuk “minoritas bangsa”. Masuknya berbagai bangsa dalam satu negara dapat terjadi secara tidak sengaja karena muncul ketika suatu masyarakat satu kebudayaan diserang dan ditaklukkan oleh masyarakat lainnya, atau diserahkan dari satu kekuatan imperial lain ke kekuatan imperial lainnya, atau ketika tanah mereka diduduki oleh pendatang yang menjajah. Namun pembentukan negara multi bangsa dapat juga terjadi secara sengaja, ketika berbagai kebudayaan sepakat untuk membentuk suatu federasi untuk kepentingan bersama’.
Begitu pula Max Weber dalam bukunya ”Sosiologi” (2006: 207) berpendapat bahwa konsep tentang bangsa adalah konsep nilai. Suatu bangsa tidak dapat diidentikkan dengan rakyat dari suatu negara karena dapat terjadi di dalam suatu negara terdapat beberapa bangsa mendiami negara itu. Secara tegas Weber menguraikan sebagai berikut, ’dalam bahasa sehari-hari ”bangsa”, pertama dan terutama, tidak identik dengan ”rakyat suatu negara,” yakni keanggotaan dari suatu negara. Berbagai negara terdiri dari kelompok-kelompok yang kemandirian ”bangsa” mereka dinyatakan secara empatik bagi kelompok-kelompok lain’. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia pengertian bangsa adalah kesatuan dari orang-orang yang bersamaan asal keturunan, bahasa, adat istiadat dan sejarahnya (Desi Anwar: 64, Plus Abdillah dan Anwar Syarifuddin: 32), sedangkan negara adalah wilayah yang dihuni oleh masyarakat sebagai warga sah yang mengatur daerah tersebut sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku (Daryanto, 1977: 445). Kata “bangsa“, juga disoroti oleh Pientow yang mengartikan bangsa adalah ’suatu rumpun/persekutuan umat manusia yang mendiami suatu wilayah atau beberapa wilayah (termasuk wilayah negara-negara) mereka berasal dari satu turunan’ . Bebedict Anderson (2001: 8), dengan gaya pikir antropologis mengusulkan definisi tentang bangsa atau nasion adalah ’komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inhern sekaligus berkedaulatan’. Selanjutnya dikatakan olehnya bahwa ’bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengarkan tentang mereka’. Ernest Renan (1994: 53-54) berpendapat bahwa bangsa adalah:
’suatu solidaritas besar, yang terbentuk karena adanya kesadaran, bahwa orang telah berkorban banyak, dan bersedia untuk memberi korban itu lagi. Ia mengandung arti adanya suatu waktu yang lampau; tetapi ia terasa dalam waktu yang sekarang sebagai suatu kenyataan yang dapat dipegang: (yakni) persatuan, keinginan yang dinyatakan secara tegas untuk melanjutkan hidup bersama. Hidup sesuatu bangsa ialah suatu plebisit (keputusan rakyat) dari setiap hari, sebagaimana individu adalah bukti kekal dari adanya hidup’.
Renan berpendapat bahwa walaupun bangsa sebagai suatu komunitas yang memiliki kedekatan karena berbagai faktor, namun belum tentu mereka saling mengenal satu dengan yang lain karena wilayahnya yang sangat luas dan jumlah warganya yang begitu banyak. Oommen (2009: 277-279) mengangkat pendapat Rupert Emerson dan Walker Connor, untuk memperkuat argumentasinya tentang pengertian bangsa. Oommen mengkonstatir berpendapat Connor sebagai berikut:
’Bangsa adalah kelompok manusia yang anggotanya memiliki kesamaan intuisi dalam hal ikatan keluarga yang didasarkan pada mitos kesamaan keturunan (1984: xiv). Kemudian ia mengklaim bahwa : ’bangsa memiliki esensi yang tidak dapat digambarkan. Esensi itu adalah ikatan psikologis yang menyatukan manusia dan membedakannya dalam alam bawa sadar anggota kelompok tersebut dan dari orang-orang yang lain (1994: 92). Bangsa adalah kelompok kekeluargaan yang ditandai dengan paham kesamaan darah (keturunan), baik itu kesamaan darah sesungguhnya maupun fiktif, yang menjadi masalah adalah bukan pada bagaimana membuktikan terhadap kesamaan darah tersebut, tetapi yang diyakini oleh orang itu terhadap kleim terhadap darahnya (hlm.93). Esensi bangsa adalah masalah kesadaran diri (hlm. 104). Bangsa adalah sekumpulan orang yang merasa bahwa mereka memiliki kesamaan nenek moyang. Bangsa adalah kelompok terbesar yang dapat mengendalikan loyalitas seseorang atas dasar ikatak kekeluargaan; istilah keluarga besar didasarkan pada prinsip tersebut’.
Sedangkan Oommen (2009: 44) memiliki pendapat sendiri tentang bangsa. Menurutnya:
bangsa atau subbangsa didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang berkumpul bersama dengan sedikit banyak kesamaan, karakteristik nenek moyang, teritori, sejarah, bahasa, agama, gaya hidup atau atribut-atribut lain yang mereka miliki sejak lahir (Petersen 1975 : 181) serta sebuah komitmen yang akan mereka tunjukkan terhadap ciri-ciri khas tertentu. Dengan demikian, sebuah bangsa adalah komunitas yang biasanya cenderung menghasilkan komunitas yang memiliki karakter tertentu (Weber dalam Gerth dan Mills, 1948 : 176). Di samping itu, diyakini bahwa kecenderungan bangsa untuk mendapatkan negaranya sendiri bukan saja sesuatu yang alamiah, namun merupakan juga sesuatu syarat vital untuk memelihara dan melindungi identitas kultural bangsa tersebut.
Untuk itu, Oommen dalam tulisan yang sama, mengkritisi berbagai kejanggalan argumentasi banyak ilmuwan dalam beberapa hal yang memandang bahwa bangsa sama dengan negara dan status kebangsaan sama dengan status kewarganagaraan, padahal ke duanya (antara bangsa dan negara atau antara status kebangsaan dan status kewarganegaraan) memiliki perbedaan mendasar.
Pendapat beberapa ilmuwan yang dikemukakan oleh Oommen untuk memperkuat argumentasinya terhadap pikiran beberapa penulis yang dianggapnya keliru yakni: Pertama, para penulis itu cenderung mencampuradukkan definisi negara dan bangsa. Kedua, mereka tidak membedakan makna yang berbeda dari teori – makna hukum dan moral – dalam konteks negara dan bangsa. Ketiga, bangsa yang terbesar meskipun bangsa itu membentuk organisasi kultural, tidak akan sulit mempertahankan etos kulturalnya dan tidak mungkin bagi mereka untuk menjadikan kultur tersebut sebagai suatu identitas yang khas. Keempat, beberapa bangsa mungkin saja menggunakan bahasa yang sama (misalnya Inggris, Prancis Spanyol dan Portugis) digunakan oleh bangsa-bangsa yang berbeda yang berasal dari Dunia Lama dan Dunia Baru.
Pengertian tentang bangsa yang berbebeda dengan pengertian tentang negara patut diakui kebenarannya dengan contoh sangat sederhana melalui negara-negara berkebangsaan Arab yang telah lama ada, dan yang baru terbentuk dengan berbagai latar belakang sejarah pembentukan negara-negara berkebangsaan Arab itu, dengan bentuk pemerintahan yang berbeda-beda (ada yang berbentuk kerajaan dan ada yang berbentuk republik), dengan wilayah negara dan rakyatnya masing-masing, namun status kebangsaan mereka hanya satu yakni bangsa Arab . Masyarakat yang tinggal pada masing-masing negara, bukan disebut sebagai bangsa sesuai nama negara itu. Jadi misalnya, mereka tidak disebut bangsa Kuwait, tidak disebut bangsa Emirat Arab, tidak disebut bangsa Qatar dan sebagainya namun mereka disebut bangsa Arab. Status kewarganegaraan dari rakyat mereka berbeda sesuai nama negara yang mereka akui (misalnya warga negara Qatar, warga negara Emirat Arab dan sebagainya) namun status kebangsaan hanya satu yakni mereka semua sebagai bangsa Arab. Jadi ada berbagai negara, bukan lalu berarti nama bangsa mesti disesuaikan dengan nama negara-negara itu. Begitu pula kelompok-kelompok masyarakat dalam suatu negara bukan berarti bahwa semua kelompok masyarakat dalam negara itu mesti mengganti identitas diri mereka menjadi hanya satu bangsa. Jadi bukan dengan sangat gampang menggunakan nama negara dipakai menjadi nama bangsa dari bangsa-bangsa yang berbeda yang mendiami negara itu atau sebaliknya tidak boleh dengan gampang menggunakan nama negara menjadi nama dari bangsa atau dari bangsa-bangsa yang mendiami negara itu. Dengan demikian, dalam pendekatan keilmuwan, Anak Negeri Maluku (orang Maluku) tidak dapat disebut sebagai bangsa Indonesia, namun mesti tetap disebut sebagai bangsa Alifuru – Maluku (*)

SirimauPos

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Konten Dilindungi !