SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos

OPINI  

“Pattimura Milik Siapa? Mewariskan Nilai di Tengah Riuh Identitas” (Catatan Pinggiran Menjelang Hari Pattimura 15 Mei 2022)

Oleh: Johan Patiasina (Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Unpatti)

Setiap tahun, tepat pada 15 Mei, bangsa ini memperingati Hari Pattimura sebagai simbol perjuangan melawan kolonialisme di Maluku. Sudah lebih dari dua abad sejak Thomas Matulessy, yang dikenal sebagai Kapitan Pattimura, memimpin rakyat Saparua merebut Benteng Duurstede dari tangan Belanda. Namun, menjelang peringatan ke-206 tahun ini, bukan hanya semangat perjuangan yang dikenang, melainkan juga perdebatan panjang tentang siapa sejatinya Pattimura. Dari mana asalnya? Apa agamanya? Dan milik siapakah ia sebenarnya?

Polemik mengenai asal-usul Pattimura memang bukan hal baru, namun dalam beberapa tahun terakhir intensitasnya semakin meningkat, seiring menguatnya kesadaran identitas lokal dan mudahnya penyebaran informasi, termasuk yang bersifat spekulatif. Sejumlah negeri di Maluku mengklaim sebagai tempat asal Pattimura. Negeri Haria di Saparua, yang selama ini dikenal luas sebagai kampung halamannya, kini menghadapi klaim serupa dari Hulaliu di Pulau Haruku, Itawaka, Lattu, Hualoy, hingga komunitas Buton. Masing-masing membawa narasi, sumber, dan legitimasi budaya yang diyakini kebenarannya oleh komunitas pendukung. Salah satu karya yang ditulis oleh putra Hulaliu, yang menyebut Thomas Matulessy sebagai “anak negeri Hulaliu,” semakin memperkuat klaim tersebut. Pandangan ini kemudian dijadikan dasar oleh sebagian tokoh masyarakat dan peneliti lokal untuk menyuarakan perlunya revisi terhadap narasi sejarah resmi yang dinilai telah disederhanakan atau bahkan menyimpang dari kenyataan. Bagi mereka, merekonstruksi ulang sejarah bukan sekadar upaya koreksi, tetapi bentuk keadilan atas warisan kolektif yang selama ini terpinggirkan. Polemik tidak berhenti di soal asal-usul geografis. Perdebatan yang tak kalah sensitif muncul dari pernyataan beberapa tokoh agama dan sejarawan Muslim yang menyebut bahwa Thomas Matulessy sejatinya adalah seorang Muslim bernama Ahmad Lussy. Ustad Adi Hidayat, dalam ceramahnya, menyampaikan bahwa Pattimura bukanlah seorang Kristen Protestan sebagaimana diyakini selama ini, melainkan seorang Muslim pejuang yang namanya diislamisasi dari Thomas menjadi Ahmad. Pandangan ini merujuk pada buku “Api Sejarah” karya Mansyur Suryanegara, serta sejumlah tulisan dari peneliti seperti Nur Tawainela yang mengkaji jejak Islam dalam perjuangan Pattimura.
Klaim ini tentu memantik respons keras dari kalangan lain yang telah lama memandang Pattimura sebagai bagian dari identitas Kristen Maluku. Tak sedikit yang melihat narasi baru ini sebagai upaya pengaburan sejarah, atau bahkan politisasi identitas agama terhadap tokoh bangsa. Namun yang lebih penting untuk dicermati adalah bagaimana diskursus sejarah ini justru mengaburkan substansi perjuangan Pattimura itu sendiri yakni perlawanan terhadap penindasan dan kolonialisme, bukan soal etnis atau agama. Persaingan klaim ini bahkan kini merambah ke aspek seremonial. Jika sebelumnya perayaan Hari Pattimura lebih sering dipusatkan di Saparua, dalam beberapa tahun terakhir upacara resmi juga mulai dilaksanakan di Negeri Hulaliu, lengkap dengan simbol-simbol adat dan budaya yang memperkuat klaim sejarah mereka. Pergeseran ini, secara simbolik, memperlihatkan bahwa sejarah telah menjadi medan perebutan makna bukan semata untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk membentuk posisi dalam percakapan identitas hari ini.
Di tengah riuh-rendah klaim ini, satu hal yang justru paling memprihatinkan adalah sikap generasi penerus perjuangan bangsa terhadap figur Pattimura. Di banyak sekolah, terutama di Maluku, pengetahuan siswa tentang siapa itu Pattimura semakin memudar. Ia lebih dikenal sebagai nama bandara atau jalan utama, ketimbang sebagai sosok pahlawan yang bisa menginspirasi. Beberapa guru sejarah bahkan mengaku kesulitan menjelaskan konteks perjuangan Pattimura karena minimnya bahan ajar yang komprehensif dan menarik. Akibatnya, generasi muda berada di persimpangan sejarah yang membingungkan. Di satu sisi, mereka menerima pelajaran sejarah nasional yang menyederhanakan narasi Pattimura. Di sisi lain, mereka tumbuh dalam lingkungan sosial yang dipenuhi dengan berbagai versi cerita, klaim, dan bahkan konflik identitas tentang siapa sebenarnya tokoh yang tengah mereka peringati itu.
Dalam kondisi seperti inilah, lembaga pendidikan memegang peran kunci. Pendidikan tidak seharusnya menjadi corong dari satu versi sejarah yang kaku, melainkan ruang dialog yang membekali generasi muda dengan kemampuan berpikir kritis, empati sejarah, dan penghargaan terhadap kompleksitas masa lalu. Yang harus ditanamkan bukanlah siapa nama asli Pattimura, atau dari negeri mana ia berasal, tetapi mengapa ia melawan. Apa yang diperjuangkannya. Dan bagaimana semangatnya bisa hidup dalam konteks Indonesia hari ini. Sekolah perlu membangun pendekatan baru dalam pengajaran sejarah. Kurikulum lokal harus mendapat tempat, namun tidak menjadi arena propaganda satu versi tertentu. Justru sejarah lokal harus menjadi pintu masuk untuk mengenalkan pluralitas Indonesia. Pattimura harus dikenalkan bukan sebagai simbol eksklusif milik satu golongan, melainkan sebagai produk kolektif rakyat Maluku yang menolak ketidakadilan kolonial. Ia adalah representasi dari keberanian melawan penindasan, dari solidaritas antarwarga, dan dari pengorbanan demi masa depan yang lebih adil.
Pendidikan juga dapat memanfaatkan teknologi dan media kreatif untuk menyampaikan kisah Pattimura secara menarik. Film dokumenter pendek, animasi sejarah, permainan edukatif, hingga pameran sejarah digital dapat menjadi sarana yang efektif untuk menjangkau generasi digital. Sejarah tidak seharusnya hanya hidup di ruang kelas dan buku pelajaran, tetapi juga hadir di ruang-ruang yang akrab bagi anak muda. Lebih jauh, sekolah juga bisa menjadi tempat rekonsiliasi sejarah. Melalui forum diskusi, kerja sama lintas sekolah, atau program pertukaran budaya lokal, siswa bisa belajar bahwa perbedaan versi sejarah bukan untuk dipertentangkan, tetapi untuk dipahami. Dialog antarsekolah dari negeri-negeri yang memiliki klaim sejarah terhadap Pattimura dapat menjadi ajang saling mengenal, bukan saling menegasi.
Menanamkan nilai-nilai perjuangan Pattimura bukan tentang memutuskan dari mana ia berasal atau apa agamanya, tetapi tentang menghidupkan semangat yang ia wariskan: keberanian melawan ketidakadilan, solidaritas lintas identitas, dan keteguhan untuk mempertahankan martabat bangsa. Itulah nilai-nilai yang perlu diwariskan kepada generasi muda di tengah kebingungan sejarah yang mereka hadapi saat ini. Maka, dalam peringatan Hari Pattimura yang ke-206 tahun ini, bangsa Indonesia tidak hanya dihadapkan pada kewajiban mengenang, tetapi juga pada tantangan memahami. Memahami bahwa sejarah bukan hanya milik mereka yang punya naskah atau nisan, tetapi milik semua yang mau belajar darinya. Dan bahwa pahlawan sejati tidak lahir untuk diperebutkan identitasnya, tetapi untuk diwariskan nilai-nilainya.
Pattimura bukan milik Haria, Hulaliu, Itawaka, atau Buton semata. Ia milik mereka yang percaya bahwa kemerdekaan tidak datang dari langit, tetapi dari keberanian melawan penindasan. Ia milik semua anak muda yang bertanya, belajar, dan akhirnya memahami bahwa sejarah bukan untuk dikunci dalam satu versi, tetapi untuk dijadikan cermin dalam membentuk masa depan.(*)


Dapatkan berita terbaru dari SIRIMAUPOS.COM langsung di ponsel Anda! Klik untuk bergabung di Channel WhatsApp kami sekarang juga.