Jakarta, Sirimaupos.com – Tragedi kemanusiaan kembali mewarnai ruang demokrasi Indonesia. Seorang pengemudi ojek online (ojol) tewas setelah dilindas mobil barracuda milik Brimob Polri dalam aksi demonstrasi di Jakarta pada Kamis, 28 Agustus 2025. Peristiwa ini memicu gelombang kecaman, khususnya dari Aktivis 98, yang menyebut insiden tersebut sebagai bukti nyata praktik represif aparat terhadap rakyat.
Kejadian bermula saat massa aksi mahasiswa dan buruh memblokade sebagian jalan protokol ibu kota. Bentrokan pecah setelah aparat mencoba membubarkan aksi menggunakan gas air mata dan kendaraan taktis. Di tengah kekacauan, korban yang berprofesi sebagai ojol dan ikut dalam barisan massa justru menjadi tumbal dari tindakan brutal aparat.
“Gugurnya kawan ojol adalah duka mendalam sekaligus tamparan keras bagi demokrasi Indonesia. Aparat yang seharusnya menjaga keamanan justru berubah menjadi alat represi yang merampas hak-hak rakyat,” kata Ubedillah Badrun, salah satu tokoh Aktivis 98.
Kecaman serupa juga datang dari Ray Rangkuti, yang menilai insiden tersebut sebagai bentuk kegagalan negara melindungi warga sipil. “Nyawa rakyat tidak boleh menjadi taruhan dalam praktik demokrasi. Negara wajib menjamin keselamatan, bukan menebar ketakutan,” ujar Ray.
Di sisi lain, keluarga korban menuntut agar proses hukum dilakukan secara terbuka. Ayah korban menegaskan tidak ingin tragedi ini berakhir dengan impunitas. “Kami hanya ingin keadilan. Anak saya bukan kriminal, dia hanya ikut menyuarakan aspirasi rakyat,” katanya penuh haru.
Komisioner Kompolnas, Mohamad Choirul Anam, yang turut mendampingi keluarga korban saat bertemu Kapolri di RSCM, menyebut pertemuan berlangsung penuh empati. “Kebetulan ada Kapolri juga, jadi kami sempat berdialog. Pihak keluarga meminta keadilan,” ujarnya.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sendiri telah menyampaikan permintaan maaf secara pribadi kepada keluarga korban. Ia menegaskan bahwa penyelidikan internal dan proses hukum akan berjalan secara transparan. “Pak Kapolri minta permohonan maaf dan berkomitmen penegakan hukum dilakukan secara profesional,” tambah Anam.
Meski begitu, Aktivis 98 tetap menuntut langkah lebih tegas. Mereka mendesak Presiden segera mencopot Kapolri dan Kapolda Metro Jaya karena dinilai gagal mengendalikan situasi dan membiarkan aparat bertindak brutal. “Tidak boleh ada impunitas. Kapolri harus bertanggung jawab secara politik dan hukum,” tegas Surya, Aktivis 98 dari Bandung.
Selain tuntutan hukum, Aktivis 98 menegaskan tragedi ini adalah pengingat bahwa demokrasi Indonesia masih rapuh. “Demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Ketika rakyat turun ke jalan, itu tanda demokrasi masih hidup. Namun dengan adanya korban jiwa, artinya demokrasi kita sedang terancam serius,” kata Danar Dono.
Seruan solidaritas juga datang dari berbagai elemen mahasiswa dan buruh yang berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. Mereka menilai kematian seorang ojol yang dikenal gigih memperjuangkan keadilan adalah simbol penderitaan rakyat kecil yang kerap terpinggirkan.
“Kami tidak akan pernah tinggal diam ketika rakyat menjadi korban kekerasan negara. Darah kawan ojol adalah api perjuangan yang harus terus menyala,” kata Antonius Danar.
Pernyataan sikap Aktivis 98 juga menegaskan enam poin utama, mulai dari duka cita mendalam, tuntutan hukuman berat bagi aparat pelaku, hingga komitmen melawan segala bentuk pembungkaman dan intimidasi negara. Mereka menolak praktik kekuasaan yang memperlihatkan kesombongan elit politik di tengah penderitaan rakyat.
Hingga kini, proses investigasi tengah berlangsung. Namun publik menuntut agar hasilnya tidak hanya berupa sanksi internal, melainkan juga proses pidana yang nyata bagi pelaku. Masyarakat sipil khawatir tragedi ini akan menjadi preseden buruk apabila dibiarkan tanpa keadilan.
Kematian ojol pejuang demokrasi ini menambah daftar panjang korban kekerasan aparat dalam aksi unjuk rasa. Aktivis 98 menegaskan, perjuangan belum selesai. “Darahnya tidak akan sia-sia, melainkan menjadi pengingat keras bahwa demokrasi Indonesia masih dalam ancaman serius,” tutup Kusfiardi, Aktivis 98 dari Yogyakarta.(*)









