SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos
SirimauPos

OPINI  

Kearifan Lokal sebagai Fondasi Kesadaran Sosial untuk Mewujudkan Harmoni Sosial di Kepulauan Kei

Oleh: Dr Agustinus Ufie (Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Budaya FKIP Unpatti)

Kepulauan Kei di Maluku Tenggara merupakan salah satu wilayah dengan kekayaan budaya yang tinggi dan dikenal memiliki sistem nilai adat yang khas. Dalam dinamika masyarakat multikultural, kearifan lokal tidak hanya menjadi penanda identitas melainkan juga modal sosial yang dapat memperkuat harmoni sosial. Seiring derasnya arus modernisasi dan globalisasi kearifan lokal berpotensi terkikis sehingga masyarakat mengalami pergeseran nilai meningkatnya individualisme serta munculnya konflik sosial. Oleh karena itu menurut Anthony Giddens, seorang sosiolog Inggris terkemuka menggambarkan globalisasi bagaikan “juggernaut” yang berarti “penguasa dunia,” dan dalam pemahaman Giddens, juggernaut adalah sebuah kekuatan besar, raksasa dan sulit dikendalikan yang terus bergerak maju membawa dampak positif sekaligus negatif. Lebih lanjut Giddens mengemukakan bahwa globalisasi adalah sebuah proses transformasi sosial yang meluas melintasi batas negara dan bergerak sangat cepat. Layaknya juggernaut globalisasi mendorong perubahan besar dalam ekonomi, politik, budaya hingga kehidupan sehari-hari. Ia membawa peluang seperti keterhubungan global pertumbuhan ekonomi dan penyebaran teknologi tetapi pada saat yang sama juga menghadirkan risiko ketidakpastian, konflik dan ketimpangan. Dalam konteks inilah penguatan kearifan lokal sangat penting untuk meneguhkan kesadaran sosial masyarakat Kei dalam menjaga kerukunan dan kohesi sosial.

Tulisan ini berupaya mengungkapkan peran kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Kei, khususnya sistem Hukum Adat Larvul Ngabal serta nilai-nilai sosial seperti Ain Ni Ain, dan Hamaren sebagai fondasi kesadaran sosial dalam meramu kehidupan bersama. Peneguhan nilai-nilai lokal ini dipandang relevan untuk membangun model harmoni sosial yang kontekstual, berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman. Masyarakat Kei memiliki pengalaman panjang terkait konflik sosial baik yang bersifat lokal maupun yang terhubung dengan dinamika regional. Data Polres Maluku Tenggara menunjukkan bahwa pada 2018–2020 terdapat 496 kasus konflik yang mencakup konflik adat, konflik tanah, pertikaian akibat konsumsi alkohol hingga konflik politik lokal. Angka ini menegaskan bahwa kerentanan sosial masih cukup tinggi meskipun masyarakat Kei memiliki pranata adat yang kuat. Dalam konteks ini konflik sering kali bukan sekadar benturan kepentingan tetapi juga krisis kesadaran sosial yang menyebabkan disharmoni. Oleh karena itu, penguatan kesadaran sosial berbasis kearifan lokal menjadi strategi utama untuk mengelola konflik sekaligus memperkuat harmoni sosial.

a. Kearifan Lokal Kei sebagai Modal Sosial
Kearifan lokal dapat dipahami sebagai sistem pengetahuan nilai dan norma yang terbentuk dari pengalaman hidup masyarakat. Di Kepulauan Kei kearifan lokal termanifestasi dalam Hukum Adat Larvul Ngabal yang memuat tiga prinsip utama Nevnev (keadilan dan kepatutan), Hanilit (kesucian perempuan), dan Hawear Balwirin (hak dan kewajiban sosial). Hukum adat ini tidak sekadar aturan formal, melainkan sistem nilai yang menuntun perilaku sosial. Selain itu terdapat sejumlah nilai sosial yang menjadi perekat kehidupan masyarakat yaitu:
• Ain Ni Ain: rasa persaudaraan, saling memiliki dan kebersamaan.
• Hamaren: gotong royong atau saling membantu tanpa pamrih.
• Tung Tam Wang Tam Tam: prinsip saling menerima, berbagi kasih, dan toleransi meskipun berbeda suku maupun agama.
Nilai-nilai ini merupakan modal sosial yang terbukti efektif menjaga harmoni selama berabad-abad. Namun dalam dua dekade terakhir pengaruh modernisasi menyebabkan nilai-nilai ini melemah sehingga fungsi integratifnya menurun. Fakta ini terus memberi perhatian kepada kita semua baik masyarakat, pemerintah, kepala adat bahwa betapa pentingnya membangun kesadaran yang berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal. Kearifan lokal Clifford Geertz dalam kajian antropologinya di Indonesia mengartikan kearifan lokal sebagai sistem simbol dan makna yang memberi panduan hidup masyarakat. Menurutnya kearifan lokal adalah hasil konstruksi sosial yang terwujud dalam praktik budaya, ritual, bahasa dan seni sehingga menjadi kerangka interpretatif dalam memahami dunia. Dengan demikian maka menurut saya kearifan lokal adalah fondasi kesadaran sosial masyarakat yang lahir dari pengalaman kolektif, nilai spiritual, serta relasi harmonis dengan lingkungan alam dan sesama. Kearifan ini tidak hanya dipahami sebagai warisan budaya tetapi juga sebagai modal sosial untuk membangun harmoni sosial dan ketahanan komunitas. Dalam konteks masyarakat kepulauan seperti Maluku kearifan lokal terwujud dalam sistem Pela dan Gandong di Pulau Ambon dan Maluku Tengah, Tea Bel di Kepulauan Kei, Kalwedo Kida Bela di Kepulauan Tanimbar yang mengajarkan solidaritas lintas marga dan agama serta dalam praktik adat yang menjaga kelestarian lingkungan laut dan hutan. Oleh karena itu menurut saya kearifan lokal merupakan bentuk epistemologi masyarakat yaitu cara khas suatu komunitas dalam menafsirkan realitas memberi makna pada pengalaman hidup dan merumuskan aturan kolektif. Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya menjaga identitas budaya tetapi juga memberi arah dalam membangun masa depan yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui kesadaran bersama.
Kesadaran sosial merupakan fondasi penting dalam menciptakan kehidupan yang harmonis di masyarakat. Di Kepulauan Kei, nilai-nilai lokal seperti Hukum adat Larvul Ngabal menjadi pilar utama dalam menjaga keseimbangan sosial. Adat ini berlandaskan tiga prinsip, yaitu Nevnev yang menekankan keadilan, Hanilit yang menjunjung kesucian perempuan, serta Hawear Balwirin yang mengatur hak dan kewajiban sosial. Nilai-nilai tersebut diperkuat dengan praktik persaudaraan Ain Ni Ain, gotong royong Hamaren, serta toleransi melalui prinsip Tung Tam Wang Tam Tam. Keseluruhan kearifan lokal ini telah terbukti selama berabad-abad mampu merawat harmoni sosial, meskipun belakangan mulai tergerus oleh arus modernisasi. Dengan menghidupkan kembali kesadaran sosial berbasis kearifan lokal, masyarakat dapat memperkuat rasa kebersamaan, solidaritas, dan toleransi sebagai modal sosial untuk menghadapi tantangan zaman serta menjaga perdamaian yang berkelanjutan.

b. Kesadaran Sosial sebagai Pilar Harmoni
Kesadaran sosial adalah kemampuan individu maupun kelompok untuk memahami, menghargai, dan menempatkan diri dalam kehidupan bersama. Dalam kerangka masyarakat Kei, kesadaran sosial berakar pada penghormatan terhadap adat dan pengakuan bahwa kehidupan yang harmonis lebih utama daripada kepentingan pribadi.
Pembangunan kesadaran sosial berbasis kearifan lokal dapat dilakukan melalui beberapa strategi:
• Revitalisasi Pendidikan Budaya Lokal melalui Nilai-nilai Hukum Adat Larvul Ngabal perlu diajarkan sejak dini melalui pendidikan formal maupun nonformal. Hal ini akan membentuk generasi muda yang memahami pentingnya harmoni sosial.
• Integrasi Adat dan Sistem Formal dengan memberitahu pemerintah daerah harus mengakui pranata adat sebagai mitra strategis dalam penyelesaian konflik. Integrasi hukum adat dengan hukum formal akan memperkuat legitimasi penyelesaian konflik.
• Penguatan Peran Tokoh Adat dan Agama dengan diberdayakan sebagai mediator dalam konflik sosial, dengan menekankan nilai persaudaraan dan kebersamaan.
• Pemberdayaan Pemuda dan Perempuan sebagai agen perubahan perlu dilibatkan aktif dalam menjaga nilai budaya agar tetap relevan dengan tantangan modern.
Dengan strategi ini, kesadaran sosial tidak hanya dibangun di tingkat individu tetapi juga menjadi kesadaran kolektif yang memperkuat ikatan sosial. Kesadaran sosial harus menjadi elemen penting dalam menggerakan solidaritas sosial. Emile Durkheim menjelaskan bahwa solidaritas sosial merupakan fondasi integrasi masyarakat. Solidaritas mekanik berbasis kesamaan nilai, tradisi, dan adat masih kuat dalam konteks Kei melalui Hukum Adat Larvul Ngabal, sedangkan solidaritas organik dapat berkembang seiring dengan diferensiasi sosial akibat modernisasi. Hal ini memperlihatkan bahwa harmoni sosial tidak hanya berakar pada tradisi, tetapi juga dapat menyesuaikan diri dengan dinamika struktural baru. Selain itu, teori interaksionisme simbolik dari Herbert Blumer membantu memahami bagaimana simbol-simbol adat, ritual, dan bahasa lokal memediasi interaksi sosial. Simbol tersebut menjadi perangkat komunikasi yang memperkuat kohesi dan identitas kolektif sehingga konflik dapat diurai dengan pendekatan simbolis yang penuh makna. Dengan cara ini kesadaran sosial tercermin dalam praktik sehari-hari melalui pengakuan dan pemaknaan simbol budaya. Pada sisi lain perspektif teori konflik Marx menyebutkan bahwa harmoni sosial juga harus dilihat secara kritis karena relasi kuasa antara negara, elite adat dan masyarakat dapat menciptakan potensi ketimpangan. Oleh karena itu, pemberdayaan pemuda dan perempuan merupakan strategi penting untuk mencegah dominasi kelompok tertentu. Kesadaran sosial di sini menjadi instrumen redistribusi kuasa sehingga semua pihak memiliki peran setara dalam menjaga harmoni.
Dengan mengintegrasikan perspektif Durkheim, Blumer, dan Marx, kesadaran sosial di Kei dapat dipahami tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai proses dinamis yang membentuk harmoni melalui solidaritas, simbol, dan distribusi kuasa yang adil.

c. Model Harmoni Sosial Berbasis Kearifan Lokal
Berdasarkan analisis kultural dan sosial, harmoni sosial di Kepulauan Kei dapat diwujudkan melalui Model Resolusi Konflik Kultural Partisipatif, yang mencakup:
• Identifikasi konflik berbasis di mana akar masalah ditelusuri dengan melibatkan tokoh adat, pemuda dan masyarakat.
• Mediasi melalui Ain Ni Ain dengan menekankan keadilan, persaudaraan dan gotong royong.
• Pendidikan nilai berkelanjutan melalui integrasi kearifan lokal dalam kurikulum sekolah.
• Kolaborasi adat dan hukum negara sehingga kebijakan publik mengakui dan memanfaatkan pranata lokal sebagai mekanisme resolusi konflik.
Model ini bersifat dinamis dan adaptif karena menggabungkan mekanisme tradisional dengan pendekatan modern. Dengan demikian, harmoni sosial tidak hanya menjadi cita-cita tetapi juga realitas yang dapat dicapai. Olehnya itu, secara praktis penguatan kearifan lokal sebagai fondasi kesadaran sosial memberi kontribusi pada teori resolusi konflik dan studi multikulturalisme. Tulisan ini memperkaya khazanah ilmu sosial dengan menghadirkan konsep integratif antara teori konflik Coser peacebuilding dan Galtung dan kearifan lokal Kei. Secara praktis, punulisan dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah, lembaga adat, dan organisasi masyarakat sipil dalam merumuskan kebijakan dan program pencegahan konflik. Revitalisasi nilai-nilai lokal juga akan memperkuat identitas masyarakat Kei sekaligus meningkatkan daya tahan sosial terhadap pengaruh globalisasi.
Dengan demkian harmoni sosial di Kepulauan Kei tidak dapat dilepaskan dari kekuatan kearifan lokal yang telah diwariskan turun-temurun. Hukum Adat Larvul Ngabal dan nilai-nilai sosial seperti Ain Ni Ain, Hamaren serta Tung Tam Wang Tam Tam merupakan fondasi penting bagi kesadaran sosial masyarakat. Namun, arus modernisasi menuntut revitalisasi dan adaptasi nilai-nilai tersebut agar tetap relevan. Sehingga menjadikan kearifan lokal sebagai fondasi kesadaran sosial masyarakat Kei dapat membangun model harmoni sosial yang lebih inklusif, partisipatif dan berkelanjutan. Upaya ini bukan hanya penting untuk masyarakat di Kepulauan Kei Kabupaten Maluku Tenggara, tetapi juga memberi kontribusi luas bagi Maluku dan Indonesia sebagai bangsa multikultural yang senantiasa menghadapi tantangan konflik dan keberagaman. Semoga….(**)


Dapatkan berita terbaru dari SIRIMAUPOS.COM langsung di ponsel Anda! Klik untuk bergabung di Channel WhatsApp kami sekarang juga.