Ambon, Sirimaupos.com- Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pattimura Ambon Prof Dr Cristianto Leasiwal, SE meminta Pemerintah Dartah Maluku untuk secara bertahap melakukan evaluasi dan restrukturisasi kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah (BUMB) yang ada di Maluku. Pasalnya, dirinya menilai BUMD yang ada di Maluku belum memberikan kontribusi yang baik bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Maluku.
Menurutnya, pendirian BUMD harusnya menjadi sumber pendapatan untuk Maluku dan bukan sebaliknya me jadi beban untuk pemerintah daerah.
“Jadi BUMD itu kan dibentuk untuk memberikan provit bagi PAD kita, nah kalau tidak memberikan provit sebaiknya dievaluasi dan segera dilakukan restrukuturisasi,” kata Leasiwal.
Ditemui di Kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unpatti, Leasiwal yang adalah akademisi dan analis ekonomi Unpatti mengemukakan bahwa BUMD merupakan ladang usaha milik pemerintah daerah yang diharapkan memberikan provit bagi PAD di Maluku karena selain memberikan provid finansial, juga diharapkan memberikan provit sosial bagi kesejahteraan Maluku.
Dirinya berharap, Gibernur Maluku Hendrik Lwewrissa dapat melakukan evaluasi terhadap kepengurusan BUMB yang ada di Maluku sehingga tidak merupakan beban untuk terus disubsidi tetapi mampu memberikan kontribusi bagi PAD di Maluku.
Sebagaimana diketahui bahwa BUMD yang ada di Maluku adalah Bank Maluku-Maluku, PD Panca Karya, PT. Pala Banda, PT Maluku Energi Abadi, Tunjungan TMMI di Jakarta, serta Mes Maluku yang sudah dikembangkan menjadi Hotel Dewangsa di Jakarta.
Namun, selama ini hanya Bank Maluku yang lebih banyak memberikan kontribusi bagi PAD Maluku, sementara BUMD lainnya masih membebani Pemerintah Daerah.
Dengan demikian, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini berharap, BUMD yang ada di Maluku sudah harus dikelola secara profesional untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyatakat.
Kalau ternyata BUMD yang selama ini sudah beroperasi namun tidak ada konntribusinuya berupa provid yang dihasilkan, maka sebaikn ya dibubarkan saja daripada jadi beban bagi pemerintah,” sebutnya.
Dikatakan, jika erbicara tentang pembangunan suatu daerah, maka tidak lepas dari yang namanya kemandirian secara fiskal. Menjalankan otonomi daerah kapasitas fiskal yang memadai dan kemandirian anggaran, agar daerah tidak terus bergantung pada transfer pusat
“BUMD, sebagai instrumen ekonomi daerah, seharusnya menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Evaluasi menyeluruh terhadap BUMD adalah langkah krusial agar entitas bisnis daerah ini bisa berkontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan,” urainya.
Dalam konteks ini, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Maluku seharusnya berperan sebagai motor penggerak ekonomi daerah sekaligus sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Maluku. “Kalau kita bedah dari PP Nomor 54 Tahun 2017 tentang BUMD, maka pasal 4 yang berbunyi, “Daerah dapat mendirikan BUMD,” seharusnya dimaknai oleh pemerintah daerah bukan hanya sebatas kebolehan dan anjuran, namun keharusan yang mengikat namun dengan catatan dikelola secara profesional dan akuntabel,” harapnya
Namun, kenyataannya, banyak BUMD justru mengalami kerugian akibat tata kelola yang lemah, kurangnya inovasi, serta rendahnya akuntabilitas. Alih-alih menjadi aset strategis bagi daerah, BUMD yang tidak dikelola dengan baik justru menjadi beban bagi APBD, menghambat upaya daerah dalam mencapai kemandirian fiskal dan pembangunan berkelanjutan. Padahal, jika dikelola secara baik, selain mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, meningkatkan pelayanan publik, serta memperkuat kemandirian ekonomi lokal.
Dalam pengelolaan BUMD, peran kepala daerah sangat strategi sebagaimana yang diatur dalam pasal 331 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan perannya selaku pemegang kekuasaan umum pengelolaan kepala daerah. Artinya, tidak hanya bertanggung jawab dalam penyertaan pada BUMD, namun juga memastikan bahwa BUMD dikelola berdasarkan kompetensi dan tata kelola perusahaan yang baik.
Permasalahan terbesar dalam tata kelola BUMD adalah besarnya beban gaji bagi direksi, komisaris, dan pejabat lainnya yang tidak sebanding dengan kinerja perusahaan. Seharusnya, gaji dan tunjangan yang diterima oleh jajaran direksi BUMD berbanding lurus dengan performa mereka dalam meningkatkan keuntungan bagi daerah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya BUMD yang merugi tetap menggaji pejabatnya dengan angka yang fantastis, bahkan lebih tinggi dibandingkan ASN di lingkungan pemerintah daerah. (*)










