Ambon, Sirimaupos. com – Publik Maluku mendesak Kejaksaan Tinggi untuk segera menelusuri dugaan praktik korupsi berjamaah di tubuh DPRD Maluku. Lembaga legislatif yang seharusnya menjadi pengawas jalannya anggaran justru dituding menjadi sarang manipulasi dana rakyat melalui berbagai modus, mulai dari hibah hingga proyek aspirasi dewan.
Dugaan ini semakin kuat setelah terkuaknya skandal pengelolaan dana hibah di Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Maluku yang melibatkan sejumlah anggota DPRD. Informasi yang beredar menyebutkan dana hibah bernilai fantastis itu dicairkan dengan memanipulasi nama lembaga dan penerima bantuan.
“Publik sudah sangat muak dengan perilaku koruptif anggota dewan. Hibah yang seharusnya untuk masyarakat kecil justru dijadikan lahan bancakan,” kata aktivis antikorupsi Maluku, Stevi Latuheru.
Selain dana hibah, sorotan publik juga tertuju pada praktik perjalanan dinas anggota DPRD Maluku. Meski Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan edaran pembatasan perjalanan dinas, laporan menyebutkan kegiatan tersebut tetap dijadikan modus untuk menguras anggaran dengan alasan fiktif atau urgensi yang tidak jelas.
“Perjalanan dinas dipakai sebagai tameng untuk menguras uang rakyat. Hampir setiap bulan anggaran dihabiskan untuk hal yang tidak memberi manfaat langsung bagi publik,” kata aktivis FISIP Unpatti, Johanis Renyaan.
Tak berhenti di situ, dugaan penyalahgunaan kewenangan juga terjadi dalam proyek aspirasi atau pokok pikiran (pokir) anggota dewan. Proyek yang seharusnya mengakomodasi kebutuhan masyarakat justru diintervensi langsung oleh anggota DPRD dengan menggunakan perusahaan milik keluarga atau menjualnya ke pihak ketiga dengan fee 12-15 persen.
“Skema pengaturan proyek ini bukan lagi rahasia. Semua sudah paham bahwa ada bagi hasil, ada fee, dan ada intervensi dewan. Jika tidak setor, proyek tidak jalan,” ungkap seorang kontraktor lokal yang enggan disebutkan namanya.
Lebih parah lagi, modus permainan proyek ini diduga melibatkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Maluku. Proses tender yang seharusnya terbuka dan transparan hanyalah formalitas, karena pemenang tender sudah direkomendasikan sejak awal oleh anggota dewan.
“Praktik mafia proyek ini sistematis. Dokumen memang diverifikasi online, tetapi offline-nya sudah diatur duluan. Pemenang tender hanya tinggal diumumkan,” kata pengamat kebijakan publik, Ampi Siahaya.
Keterlibatan anggota DPRD Maluku tidak hanya berhenti pada urusan proyek dan hibah. Publik juga dikejutkan dengan munculnya nama salah satu anggota dewan dari PDIP yang diduga berperan sebagai mafia tanah. Dugaan ini menambah panjang daftar persoalan etika dan hukum di lembaga legislatif tersebut.
“Kejaksaan tidak boleh diam. Semua dugaan ini harus ditindaklanjuti secara hukum. Kalau tidak, rakyat semakin hilang kepercayaan pada lembaga negara…,” kata tokoh masyarakat Aru, Demi Laimasian.
Desakan publik agar aparat hukum segera turun tangan semakin menguat. Masyarakat menilai DPRD Maluku justru menjadi bagian dari masalah tata kelola keuangan daerah, bukan solusi.
Fungsi pengawasan DPRD sudah mati. Mereka hanya sibuk mengurus kepentingan pribadi lewat proyek dan perjalanan dinas. kata Ketua Forum Peduli Maluku.
Sejumlah pihak mendesak Kejaksaan Tinggi Maluku untuk segera membentuk tim penyelidik khusus. Langkah ini dinilai mendesak agar dugaan praktik korupsi berjemaah yang berlangsung masif dan terstruktur tidak semakin merusak sistem pemerintahan daerah.
Publik berharap aparat penegak hukum menindak tegas setiap anggota DPRD yang terbukti terlibat. Harapan itu muncul sebagai bentuk keinginan untuk mengembalikan marwah lembaga legislatif yang kini dinilai telah tercoreng parah oleh praktik-praktik koruptif.(*)









