Taniwel, Sirimaupos.com – Di tengah gencarnya program pembangunan nasional, Desa Laturake di Kecamatan Taniwel, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) masih hidup dalam keterisolasian yang memprihatinkan. Hingga saat ini, akses jalan dan jembatan menuju desa tersebut belum juga tersentuh pembangunan berarti dari pemerintah daerah.

Kondisi jalan yang rusak parah membuat warga sulit keluar masuk desa. Saat musim hujan, jalan berubah menjadi lumpur dalam yang tak jarang menelan kendaraan roda dua. Sementara pada musim kemarau, jalan berubah menjadi tumpukan batu tajam dan debu tebal yang membahayakan perjalanan.
Akses yang terbatas ini bukan hanya menghambat mobilitas masyarakat, tetapi juga berdampak langsung pada sektor pendidikan dan ekonomi. Anak-anak sekolah menengah atas harus berjalan kaki naik-turun gunung setiap hari demi menuntut ilmu di Taniwel karenan tidak ada, transportasi reguler yang dapat ditumpangi. Jika harus menumpang kendaraan dum truck yang kebetulan melewati jalan-jalan terjal dan berlobang ini. Mereka harus menghabisi Rp 50.000 hingga Rp 100.000. Inipun kalau lagi cuaca, membaik.

“Anak-anak kami sering terlambat atau bahkan tidak masuk sekolah karena hujan deras atau sungai meluap. Ini sangat menyedihkan,” tutur Kepala Desa Laturake Ruben Makulessy, kepada sirimaupos. com ketika diwawancara, Senin (12/10/2025).

Padahal di desa tersebut sudah berdiri SMP Negeri 7 Taniwel Seram Bagian Barat, namun kondisi bangunannya sangat memprihatinkan. Dindingnya masih berupa papan dan atapnya dari daun sagu. Sekolah itu dibangun secara swadaya oleh warga yang menginginkan pendidikan layak bagi anak-anak mereka.
“Sekolah itu kami bangun bersama-sama, pakai bahan seadanya. Pemerintah belum pernah bantu memperbaiki,” kata tokoh masyarakat Laturake, Angky Supulatu dengan nada kecewa.
Selain itu, terdapat pula sekolah dasar dari Yayasan Pendidikan Kristen J.B. Sitanala, namun bangunannya sudah terancam ambruk akibat longsor di bagian belakang sekolah. Sebagian pondasi dan lantai telah tergerus tanah, meninggalkan rasa was-was bagi guru dan murid setiap kali hujan turun.
“Kalau hujan deras, kami takut bangunan itu roboh. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada sekolah lain,” ujar Supualatu
Keterisolasian Laturake semakin ironis ketika melihat potensi alamnya yang melimpah. Desa ini dikenal sebagai wilayah penghasil damar, kenari, dan kopi berkualitas tinggi, serta memiliki hasil perkebunan yang menjanjikan. Namun semua hasil bumi itu sulit dipasarkan karena akses transportasi yang terhambat.
“Kadang pedagang datang beli hasil kebun, tapi harga mereka sangat rendah karena alasan biaya angkut mahal. Kami rugi terus,” ungkap tokoh pemuda Ferdinan Supulatu.
Menurutnya, banyak warga akhirnya memilih menimbun hasil kebun karena biaya transportasi ke pasar di Taniwel atau Piru jauh lebih tinggi dibanding nilai jual hasil panen. Situasi ini membuat ekonomi masyarakat stagnan dan bergantung pada sistem barter antarwarga.
Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat sebenarnya telah berulang kali berjanji akan memperhatikan daerah-daerah terisolasi. Namun hingga kini belum ada realisasi nyata di Laturake. Anggaran pembangunan infrastruktur lebih banyak terserap di wilayah perkotaan.
“Pemerintah selalu bicara pemerataan pembangunan, tapi Laturake belum pernah merasakannya,” tegas Supulatu.
Sudah beberapa kali Pemerintah Desa mengusulkan untuk memperbaiki jalan melalui Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan ruang maupun melalui Musrembang Desa dan Kecamatan, dan Penataan Ruang (PUPR) SBB, namun hal itu belum juga menjadi program prioritas.
Sementara itu, Tokoh masyarakat SBB yang juga sesepuh masyarakat Laturake Max Pentury mengemukakan bahwa keterisolasian di desa Laturake merupakan sebuah contoh bahwa Pemerintah lalai memenuhi hak dasar dari masyarakat berupa kesediaan jalan dan transportasi sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.
Dirinya berharap Pemerintah Kabupaten SBB dan Pemerintah Provinsi Maluku maupun kementrian PUPR khusunya, Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) Wilayah Maluku bisa memprioritaskan ruas-ruas jalan yang ada di daerah tersebut. Bukan saja di desa Laturake tetapi juga ruas jalan menuju pegunungan di Lohia Salalewa, Buruan hingga Riring dan Rumah Soal karena sangat rusak parah.
Mantan anggota DPRD Provinsi Maluku ini meminta adanya perhatian serius dari Pemerintah Daerah karena beberapa momen penting seperti Sidang Klasis Taniwel direncanakan akan berlangsung desa Laturake tahun 2029 serta rencana panas pela pada tahun 2027 dimana Desa Laturake akan menjadi tuan rumah. (*)










